Tentang Seorang Pelukis
Ini adalah kisah
tentang memilih dalam menjalani kehidupan, Icha demikian mereka memanggilku.
Saat ini aku masih belum tahu harus kemana setelah lulus sarjana sebagai
pelukis. Belum terpikir untuk berkerja kantoran, lagi pula seorang pelukis tak
mungkin kau paksa untuk aku duduk seharian di kantor memakai make-up sepanjang
hari, berjalan dengan sepatu tinggi yang entahlah apa namanya. Penampilanku
urak-urakan, aku lebih suka mengenakan kaus belel dengan gambar penyanyi band
Indie seperti “Band Naif” itu band fenomenal di era 90’an, celana jeans yang
penuh dengan titik-titik cat yang tidak sengaja menetes saat aku mengecat pada
kanvas atau tembok-tembok itu, dan sepatu yang sudah ku cat dengan taburan
bintang-bintang. Semua terlihat sempurna seperti seniman yang bekerja di
studio dengan seluruh peralatannya yang berantakan.
Aku memang
urak-urakan, kadang pria yang memang tidak mengerti kesenian akan menganggap
aku aneh dan sedikit gila karena ya aku terlalu banyak berhayal dan
berimajinasi. Kalau kau tanya soal cinta? Entahlah aku tidak jago soal itu,
tapi yang aku tahu cinta itu soal rasa yang bergerak di hati membawa perasaan
yang menyenangkan kadang juga menyedihkan. Aku lebih betah menikmati
kesendirian ini pasca putus dengan dia yang pernah membawa setengah hati ini
lalu pergi bagai ditelan bumi. Aku hanya ingat satu minggu setelah aku berucap
kata pisah, dia sudah memilih bersama perempuan lain dan dia berpesan untuk
tidak perlu menganggu dirinya lagi.
“Sampai kapan
kau mau tetap seperti ini?” Hana menghampiriku yang sedang duduk termenung di
studio lukis.
“Sejak
kapan kau masuk ke sini?” Aku setengah kaget dengan kehadiran Hana.
“Sejak
dari tadi, kamu sedang memikirkan sesuatu?” Hana berusaha menebak.
“Tidak,
sedang mencari inspirasi saja.” Aku berucap pelan berusaha menutupi perasaan.
“Kau pasti masih
memikirkan dia yang pernah jadi semangatmu untuk berkarya? Apa karena dia sudah
hilang sehingga cintamu pada melukis akhirnya memudar?” Hana kembali bertanya.
“Sudahlah aku
tidak ingin menjawab, aku memang tidak pandai menjaga perasaanku. Sekarang kau
mau apa di sini?” Aku mengalihkan topic kemudian menatap Hana.
“Icha, aku tidak
mau kau terus bersedih. Lupakan Bintang! Kau bahkan terlihat semakin kurus,
makin tidak terurus, dan kau lupa hari ini adalah perayaan ulangtahunmu yang
ke-23!” Hana kemudian menatapku tajam.
“Ulangtahun?
Masihkan perlu itu dirayakan, aku rasa aku bukan anak-anak!” Aku menjawabnya
santai.
“Kau gila! Aku
hampir tidak mengenal kau sejak kau berpisah dengan Bintang, Cha kau selalu
bersemangat setiap kali hari ulangtahun! Kau benar-benar berubah.” Hana mulai
kesal dengan sikapku.
“Ya, lalu apa
yang kau harapkan dari seorang perempuan yang masih patah hati. Masih mencari
cinta sejatinya? Apa kau paham apa yang aku alami ini benar-benar berat? Kau
berharap aku bisa tertawa lepas, bisa merasa semua baik-baik saja? Bahkan aku
tidak bisa merasa apa-apa sekarang, apa kau puas?!” Aku memulai menaikan nada
emosi.
“Terserah, kau
terlalu lemah sejak Bintang meninggalkan kamu dan memilih menjalani hidupnya
dengan wanita lain? Kau terlalu menutup dirimu untuk menerima kebahagiaan Kamu
sendiri! Aku muak dengan sikapmu yang seperti ini, Cha!” Hana membalikan badan
kemudian keluar dari studio lukis.
(.....Bersambung....)
Komentar
Posting Komentar